penamerah co.id Jakarta – Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, dituntut 10 bulan penjara terkait kasus perobohan papan bunga yang terjadi di Mapolres Lampung Timur, Jumat, 11 Maret 2022 lalu. Tuntutan itu dibacakan oleh JPU, Mochamad Habi Hendarso, S.H., M.H., pada sidang ke-10 yang berlangsung di PN Sukadana, 16 Juni 2022.
“Berdasarkan keterangan para saksi, terdakwa Wilson Lalengke terbukti bersalah melanggar Pasal 170 ayat 1 KUHPidana dan Pasal 335 KUHPidana. Untuk itu yang bersangkutan dituntut hukuman penjara 10 bulan dipotong masa tahan,” ungkap Habi Hendarso dalam berkas tuntutannya, Kamis, 16 Juni 2022 di depan Majelis Hakim.
Sementara itu, kedua rekannya, Edi Suryadi dan Sunarso, masing-masing dituntut Jaksa dengan hukuman penjara 8 bulan penjara potong masa tahanan. Selain itu, ketiga pesakitan atas kasus yang dikenal dengan Peristiwa Sebelas Maret 2022 atau PERSEMAR-22 itu dituntut membayar biaya perkara masing-masing Rp. 3.000,- (tiga ribu rupiah).
Sebagaimana banyak diberitakan sebelumnya, PERSEMAR-22 merupakan buntut dari perilaku bejat seorang oknum tokoh adat Buay Beliuk Negeri Tua Lampung Timur bernama Mas Rio. Oknum tokoh adat yang disinyalir merupakan orang dekat Bupati Lampung Timur tersebut diduga kuat menjalin hubungan terlarang alias selingkuh dengan seorang wanita berinisial DW, kerabat mantan Bupati Lampung Tengah.
Perselingkuhan oknum tokoh adat Buay Beliuk Negeri Tua Lampung Timur, yang bergelar Rajo Puting Ratu, ini tercium oleh istri sah yang bersangkutan berinisial DS, yang kemudian menghubungi wartawan Muhammad Indra, Sekretaris DPC PPWI Lampung Timur. DS meminta bantuan agar Muhammad Indra mempublikasikan cerita sedihnya itu di media online yang dikelolanya, www.resolusitv.com.
“Miris banget, gara-gara kenakalan isi sempak si tokoh adat Buay Beliuk Negeri Tua Mas Rio akhirnya orang dituntut hukuman 10 bulan penjara,” ujar seorang wartawan Lampung Timur yang dimintai komentarnya usai mengikuti persidangan.
Mengikuti kronologi kejadian dari awal pemberitaan perselingkuhan oknum tokoh adat Buay Beliuk Negeri Tua Lampung Timur, Mas Rio, hingga ke penuntutan Wilson Lalengke Cs ke PN Sukadana, kasus itu tidak lepas dari dugaan adanya keterlibatan Polres Lampung Timur. Kolaborasi Forkompinda yang telah berkomitmen untuk saling mendukung dalam segala permasalahan di Kabupaten Lampung Timur memuluskan program kriminalisasi terhadap wartawan Muhammad Indra, yang kemudian berlanjut dengan kriminalisasi terhadap Ketua Umum PPWI bersama kawan-kawannya.
Menanggapi tuntutan JPU yang meminta Majelis Hakim menghukumnya 10 bulan penjara, Wilson Lalengke mengatakan bahwa tuntutan itu terlalu kecil. “Bagi saya, tuntutan 10 bulan itu terlalu kecil jika hal itu dimaksudkan untuk mengobati rasa sakit hati beberapa oknum yang merasa tersakiti akibat PERSEMAR-22. Namun jika untuk menegakkan aturan hukum sesuai pasal-pasal yang dituduhkan, tentu para pakar dan praktisi hukum serta publik dapat menilainya sendiri, apakah unsur-unsur pelanggaran pidananya terpenuhi,” jelas alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 ini menjawab pertanyaan wartawan yang dikirimkan melalui Sekretariat PPWI Nasional, Jumat, 18 Juni 2022.
Kasus Muhammad Indra itu, demikian Wilson Lalengke, hanyalah ibarat setitik buih di luasnya hamparan buih persoalan wartawan kelas akar rumput yang menyebar di seantero pelosok Nusantara. Mereka tidak berdaya menghadapi perlakuan yang tidak semestinya dari kalangan masyarakat kelas elit, pengusaha, penguasa, dan aparat. Ratusan ribu wartawan start-up yang hanya bermodalkan idealisme tanpa dukungan finansial yang memadai tumbuh bersama pesatnya kemajuan teknologi informasi internet yang menyediakan potensi pengembangan media online dalam dua dekade terakhir.
“Para wartawan di daerah-daerah yang secara nyata telah membuat pembangunan di wilayahnya semakin bergairah, dengan mudahnya dipermainkan oleh para elit, pengusaha, penguasa, dan aparat melalui berbagai modus, strategi, dan trik, salah satunya dengan memanfaatkan tangan dan jerat hukum,” terang lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dari Universitas Birmingham, Inggris, ini sedih.
Wartawan Muhammad Indra, lanjutnya, seperti juga warga di kalangan sosial kelas bawah lainnya, dengan gampangnya diciduk polisi hanya dengan delik tuduhan sepihak yang amat bias. Polisi dengan entengnya menangkap seseorang hanya dengan mendengarkan pengaduan dan informasi dari satu oknum tokoh adat Buay Beliuk Negeri Tua bermental bandit yang menuduhnya melakukan pemerasan Rp. 50 juta, padahal yang dia terima hanya Rp. 2,8 juta dari oknum tersebut. Pembelaan terhadap wartawan, terutama dari penguasa dan aparat, hampir di titik nol koma nol. Mereka hanya dibutuhkan pada saat menjelang pesta demokrasi, pilkada, pilpres, dan pileg. Ketika pesta usai, usai jugalah cerita tentang nasib mereka.
“Yang parahnya, Kapolri dan Kapolda Lampung pun bisa dikibuli Kapolres Lampung Timur soal tuduhan pemerasan Rp. 50 juta itu. Kapolri juga dibohongi Kapolres yang mengatakan bahwa para tokoh adat Lampung Timur yang melaporkan saya dan kawan-kawan ke Polres, padahal faktanya tidak ada laporan polisi yang dibuat tokoh adat ke Polres. Parah betul sistem informasi di lingkungan Polri kita sekarang ini,” beber tokoh pers nasional yang sudah melatih ribuan anggota TNI-Polri, mahasiswa, PNS, wartawan, dan masyarakat umum di bidang jurnalistik itu.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dimandulkan. Undang-Undang yang sedianya dibuat untuk menjamin pengembangan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers pasca reformasi gagal menjalankan misinya. Berbagai peraturan ilegal, yang tidak memiliki landasan hukum dalam penerbitannya, dikeluarkan oleh berbagai instansi di daerah-daerah, yang dimotori oleh lembaga Dewan Pers didukung underbow-nya, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), bertujuan untuk menghambat dan pada banyak kasus berujung pada penangkapan, bahkan penyiksaan dan pembunuhan wartawan.
“Majelis Hakim telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana penampilan ahli pidana Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H., yang notabene adalah bagian dari PWI dan Dewan Pers, di pengadilan ini, yang secara atraktif telah melecehkan eksistensi saya dan PPWI sebagai pegiat di bidang jurnalisme dan kewartawanan. Bahkan untuk bertanya pun kepada polisi humas Syarifudin, saya divonisnya tidak punya hak. Ini adalah serangan yang luar biasa bengis terhadap saya sebagai Warga Negara Indonesia dan pengemban UU Nomor 40 tahun 1999,” tegas Wilson Lalengke menyesalkan kesaksian Eddy Rifai yang membawa-bawa kepentingan kelompoknya ke persidangan.
Keberadaan wartawan yang dideklarasikan sebagai pilar keempat demokrasi, sungguh sangat memprihatinkan. Mereka dibutuhkan namun kerap dilecehkan, dianggap sebagai hama pengganggu zona nyaman para oknum pejabat, penguasa, pengusaha, dan aparat bermental bandit, bejat, dan korup di berbagai daerah. Pengayoman dan perlindungan dari pengampu kebijakan pemerintahan, dari tingkat pusat sampai daerah, kepada mereka nyaris tidak ada.
“Suara dan perlakuan miring, melecehkan, dan menista dari para oknum yang kepentingan korupsi-kolusi-nepotismenya terganggu, terhadap wartawan teramat sering terjadi, bahkan intensitasnya cenderung menanjak. Jangankan penghargaan dan rasa empati kepada mereka, tidak jarang yang didapatkan adalah penganiayaan hingga berujung kematian,” pungkas alumni program persahabatan Indonesia Jepang Abad-21 itu mengakhiri pernyataannya. (Red)